Sabtu, 10 November 2012

Kebijakan Penal dalam Hubungan dengan ITE

PEMBAHASAN
I.TINJAUAN YURUDIS KEJAHATAN DENGAN SARANA KOMPUTER BERDASARKAN KUHP DAN UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 2008
A.Tinjauan Berdasarkan KUHP
Ketentuan-ketentuan mengenai cybercrime dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana masih bersifat global, namun berdasarkan tingkat kemungkinan terjadinya kasus dalam dunia maya (cyberspace) dan kategorisasi kejahatan cyber menurut draft convention on cyber crime maupun pendapat para ahli, Teguh Arifandi (Inspektorat Jendral Depkominfo) mengkatagorikan beberapa hal yang secara khusus diatur dalam KUHP dan disusun berdasarkan tingkat intensitas terjadinya kasus tersebut, yang berkaitan dengan kejahatan dunia komputer antara lain :
1.Ketentuan yang berkaitan dengan delik pencurian
2.Ketentuan yang berkaitan dengan kejahatan perusakan dan penghancuran barang
3.Ketentuan yang berkaitan dengan perbuatan memasuki atau melintasi wilayah orang lain
Terhadap perbuatan dalam ketentuan-ketentuan di atas, masalah yang timbul adalah pasal-pasal tersebut tidak menyebutkan data komputer atau informasi yang dihasilkan komputer. Perkembangan teknologi informasi seiring berkembangannya sistem jaringan komputer telah mengubah pandangan konvensional terhadap unsur barang atau benda sebagai alat bukti menjadi digital evidence atau alat bukti elektronik baik sebagai media seperti disket, tape storage, disk storage, compact disk, hard disk, USB, flash disk dan hasil cetakan bukti elektronis tersebut.
Jaringan komputer yang menghasilkan cyberspace dan komunitas virtualnya berkembang seiring dengan berkembangnya kejahatan yang menghasilkan tindak
pidana yang dianggap dahulu tidak mungkin pada saat sekarang ini menjadi mungkin bahkan dampaknya dapat dirasakan diluar tempat/wilayah negara. Oleh karena itu penerapan pasal-pasal KUHP sudah tidak relevan dalam penanggulangan tindak pidana teknologi informasi.biasa disebut sebagai UU ITE. Dalam UU ITE, Bab VII mengatur tentang perbuatan yang dilarang dalam transaksi elektronik (Pasal 27 sampai dengan Pasal 37) sedangklan Bab XI mengatur tentang kententuan pidana.
B.Kebijakan Hukum Pidana dalam Udang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
1. Kebijakan Kriminalisasi Tindak Pidana Teknologi Informasi di Indonesia
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakekatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana ( penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya
Dilihat dari pengertian kriminalisasi, sesungguhnya kriminalisasi tidak harus berupa membuat undang-undang khusus di luar KUHP, dapat pula dilakukan tetap dalam koridor KUHP melalui amandemen. Akan tetapi proses antara membuat amandemen KUHP dengan membuatundang-undang khusus hampir sama, baik dari segi waktu maupun biaya, ditambah denganketidaktegasan sistem hukum kita yang tidak menganut sistem kodifikasi secara mutlak,menyebabkan munculnya bermacam- macam undang-undang khusus.Tindak pidana teknologi informasi di Indonesia telah diatur dalam UU ITE sehingg abersifat khusus (lex specialist ). Kebijakan hukum terkait dengan masalah kriminalisasi dalamUU ITE tertuang dalam Bab XI tentang Ketentuan Pidana (Pasal 45 sampai dengan Pasal 52) juncto Pasal 27 sampai dengan Pasal 36. Sedangkan isi Pasal 27 sampai dengan Pasal 36.
Kejahatan computer di Indonesia dapat dibagi kedalam beberapa pokok
permasalahan yang diantaranya adalah sebagai berikut :
1.Penipuan komputer (computer fraud) yang mencakup :
2.Perbuatan pidana penggelapan, pemalsuan pemberian informasi melalui komputer yang merugikan pihak lain dan menguntungkan diri sendiri.
3.Perbuatan pidana komunikasi, ialah hacking yang dapat membobol sistem on- line komputer yang menggunakan sistem komunikasi. Hacking, ialah melakukan akses terhadap sistem komputer tanpa seizin atau dengan melawan hukum sehingga dapat menembus sistem pengamanan komputer yang dapat mengancam berbagai kepentingan.
4.Perbuatan pidana perusakan sistem komputer, baik merusak data atau menghapus kode-kode yang menimbulkan kerusakan dan kerugian. Contohnya adalah berupa penambahan atau perubahan program, informasi, media, sehingga merusak sistem; atau dengan sengaja menyebarkan virus yang dapat merusak program dan sistem komputer; atau pemerasan dengan menggunakan sarana komputer/ telekomunikasi.
5.Perbuatan pidana yang berkaitan dengan hak milik intelektual, hak cipta, dan hak paten, ialah berupa pembajakan dengan memproduksi barang-barang
II.TINDAK PIDANA KEJAHATAN DENGAN SARANA KOMPUTER DITINJAU DARI ASPEK-ASPEK KEBIJAKAN PENAL
Pembangunan yang sedang giatnya dilaksanakan pada era saat ini membawa perubahan dan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, yang tidak lain merupakan proses transformasi, sebagai akibat penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju. Ini menjadikan perkembangan masyarakat menuju ke arah industrilisasi, serta ditopang perkembangan teknologi telekomunikasi maka hubungan antar negara sudah bersifat mendunia yang menciptakan tata dunia baru.

Demikian ini tidak bisa dielakkan pengaruhnya terhadap perkembangan masyarakat Indonesia yang sedang membangun di era reformasi itu telah dihadapkan dengan berbagai krisis baik politik, ekonomi, dan sosial budaya dan ini harus ditangani agar bangsa dan negara Indonesia tetap dipandang keberadaannya di antara bangsa-bangsa di dunia.
Penentuan sebagai tindak pidana ini berarti merupakan kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto adalah sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kajahatan1. Di dalam kebijakan kriminal ini mencakup kebijakan hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (kebijakan penal), karena di samping dengan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan dapat dengan sarana-sarana lainnya ( non-hukum pidana ).
A. ASPEK KEBIJAKAN PENAL (PENAL POLICY)
Secara umum pengertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah “policy” atau “beleid” khusunya dimaksudkan dalam arti “wijsbeleid”, menurut seorang pakar pidana , dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai tujuan secara kolektif.
Pengertian kebijakan itu sendiri adalah merupakan suatu perencanaan atau program mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan bagaimana cara melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah deprogram atau direncanakan.
Menurut Marc Acncel, pengertian penal policy (kebijakan hukum pidana) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk member pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga
1 Sudarto,S.H Prof , Hukum dan Hukum Pidana 1977 hal 104

kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Selanjutnya Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata mata pekerjaan tekhnik perundang undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normative dan sistematik dogmatic. Di samping pendekatan yuridis factual juga dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, dan komperatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensip dari berbagai disiplin ilmu social lainnya , dengan pendekatan integral dan ada keseimbangan antara “penal” dan “non penal2”. Pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan sarana penal merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalisasi dan atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu 3:
1.Formulasi ( kebijakan legislative / legislasi )
2.Aplikasi ( kebijakan yudikatif / yudicial )
3.Eksekusi ( kebijakan eksekutif / administrasi )
Masih menurut Barda Nawawi Arif, usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan hukum pidana merupakan tindakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pidana (penal). Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, karena itu sering pula dikatakan bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum.
Usaha penanggulanggan kejahatan lewat pembuatan undang-undang pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat.
2Barda Nawawi, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Cet.Ke-2, Kencana, Jakarta
3Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana (Bandung:PT.Citra Aditya Bhakti, 1982)

Dengan demikian seandainya kebijakan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) maka kebijakan hukum pidana (penal policy) harus mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan social
B.KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN DENGAN HUKUM PIDANA (PENAL)
Penggunaan sarana “penal” dalam mengatur masyarakat pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy), kebijakan pembangunan nasional (national development policy), kebijakan atau politik criminal (criminal policy) dan juga bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).
Kebijakan penal didasarkan pada pertimbangan atau latar belakang pemikiran bahwa sarana “penal” mempunyai keterbatasan dan mengandung beberapa kelemahan sebagai berikut 4:
1.Dilihat secara dogmatis/idealis, sanksi pidana adalah jenis sanksi yang paling tajam atau juga yang sering dikenal dengan istilah “Ultimum Remidium”
2.Dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut biaya tinggi
3.Sanksi hukum pidana merupakan “Remedium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsure efek sampingan yang negative
4.Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kurieren am symptom (menanggulangi/menyembuhkan gejala). Jadi sanksi pidana hanya merupakan pengobatan simptomatik bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada diluar jangkauan hukum pidana
4 Barda Nawawi Arif, Aspek kKebijakan Penegakan Hukum Pidana , 2005 hal 162

5.Hukum/sanksi pidana merupakan bagian kecil dari sarana control sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks.
6.Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat structural atau fungsional
7.Efektivitas pidana masih bergantung pada banyak faktor dan oleh karena
itu masih sering dipermasalahkan.
Dalam menggunakan Penal terdapat prinsip-prinsip pembatas yang harus diperhatikan, prinsip tersebut antara lain 5:
1.Hokum pidana tidak boleh digunakan hanya semata-mata untuk tujuan pembalasan
2.Dalam penggunaan hukum pidana harus diperuntukan kepada perbuatan yang merugikan / membahayakan
3.Jangan menggunakan hokum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana lain yang lebih ringan
4.Jangan menggunakan hokum pidana apabila kerugian / bahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugian / bahaya dari perbuatan / tindak pidana itu sendiri
5.Larangan-larangan hokum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah
6.Hokum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik.
5 Ibid hal 74-75
C.KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (PENAL POLICY) TERHADAP TINDAK KEJAHATAN DENGAN SARANA KOMPUTER
Kejahatan dalam bidang teknologi informasi secara umum dapat dikategorikan menjadi dua kelompok. Pertama, kejahatan biasa yang menggunakan teknologi informasi sebagai alat bantunya. Dalam kejahatan ini terjadi peningkatan modus dan operandinya dari semula menggunakan peralatan biasa, sekarang telah memanfaatkan teknologi informasi. Dampak dari kejahatan biasa yang telah menggunakan teknologi informasi ternyata berdampak cukup serius, terutama jika dilihat dari jangkauan dan nilai kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan tersebut.
Pencurian uang dengan pembobolan bank atau pembelian barang menggunakan kartu kredit curian melalui media internet dapat menelan korban di wilayah hukum negara lain, suatu hal yang jarang terjadi dalam kejahatan konvensional. Kedua, kejahatan yang muncul setelah adanya internet, dimana sistem komputer sebagai korbannya. Kejahatan yang menggunakan aplikasi internet adalah salah satu perkembangan dari kejahatan teknologi informasi. Jenis kejahatan dalam kelompok ini makin bertambah seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Contoh dari kejahatan kelompok ini adalah perusakan situs internet, pengiriman virus atau program-program komputer yang tujuannya merusak sistem kerja komputer.
Saat ini, Indonesia belum memiliki Undang - Undang khusus/ cyber law yang mengatur mengenai cybercrime Tetapi, terdapat beberapa hukum positif lain yang berlaku umum dan dapat dikenakan bagi para pelaku cybercrime terutama untuk kasus-kasus yang menggunakan komputer sebagai sarana, antara lain :
1.Kitab Undang Undang Hukum Pidana
2.Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
3.Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
4.Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
5.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronik
KESIMPULAN
Secara sederhana dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan pada sifat “repressive”
(penindasan/pemberantasan/penumpasan)sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menitik beratkan pada sifat “preventif”
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.
Pengertian penal policy (kebijakan hukum pidana) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk member pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Penggunaan kebijakan penal dalam suatu tindakan kejahatan memang bukan suatu kebijakan yang strategis. Namun sebaliknya bukan pula suatu langkah kebijakan yang bisa di sederhanakan dengan mengambil sikap ekstrim untuk menghapuskan saja hukum pidana itu sama sekali. Persoalan tidak terletak pada masalah eksistensinya, namun lebih kepada masalah kebijakan penggunaannya.
Sebagai suatu masalah kebijakan sudah barang tentu penggunannya pun tidak dapat dilakukan secara absolute, karena memang pada hakikatnya tidak ada hal yang absolute didalam suatu bidang kebijakan.
Pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan sarana penal merupakan
“penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalisasi dan atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu :
1.Formulasi ( kebijakan legislative / legislasi )
2.Aplikasi ( kebijakan yudikatif / yudicial )
3.Eksekusi ( kebijakan eksekutif / administrasi)
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Arief, Barda Nawawi,1998 Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti : Bandung
Hamzah,Andi 1981, Institut Komputer Indonesia (IKI), Pengenalan Komputer (Introduction to Computer),Sinar Grafika :Jakarta,
Karnasudirdja, Eddy Djunaedi, 2005, Yurisprudensi Kejahatan Komputer, Jakarta Kuswandi,Wawan, 1996, Komunikasi Massa, Rineka Cipta : Jakarta Raharjo,Agus, 2002, Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, PT Citra Aditya Bakti: Bandung
Janes, Rosenau N., 1993, Turbulance in World Pacifik, Princeton University
Press:Priceton
Rudy,T. May, 2002, Study Strategis: Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin, Refika Aditama: Jakarta
Undang-Undang
KUHP ( Kitab Undang Undang Hukum Pidana )
Undang Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

1 komentar: