I. Perbuatan Melawan Hukum : Batasan Dan Definisi.
Perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda adalah
Onrechmatige daad atau dalam bahasa Inggrisnya yaitu tort. Tort sebenarnya
bermakna salah tetapi kemudian maknanya berkembang menjadi kesalahan perdata
yang berasal dari wanprestasi kontrak.
Perbuatan melawan hukum (PMH) adalah salah satu alasan yang
sering ditemui dalam gugatan perdata yang diajukan di pengadilan. Pada dasarnya
perbuatan melawan hukum adalah kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan
untuk mengontrol atau mengatur perilaku berbahaya untuk memberikan tanggung
jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial dan untuk
menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.
Sedangkan menurut pasal 1365 KUH Perdata yang dimaksud
dengan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang
dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi
orang lain.
Pada mulanya perbuatan melawan hukum diartikan hanya
semata-mata setiap perbuatan yang melawan atau melanggar pasal-pasal dari hukum
tertulis saja. Tetapi sejak tahun 1919 perbuatan melawan hukum mengalami
perluasan makna yaitu mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan sebagai
berikut :
1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain
(inbreuk op eens anders recht) :
Perbuatan dalam klausul ini meliputi antara lain terhadap
hak-hak pribadi (persoonlijkheidsrechten), hak-hak kekayaan (vermogensrecht),
hak atas kebebasan dan hak atas kehormatan dan nama baik.
2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya
sendiri (recht splicht) : dalam hal ini yang dimaksud dengan kewajiban hukum
adalah suatu kewajiban yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik hukum
tertulis ,maupun hukum tidak tertulis. Jadi selain bertentangan dengan hukum
tertulis (wettelijk plicht) juga bertentangan dengan hak orang lain menurut
undang-undang (wettelijk recht).
3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan :
apabila sebuah tindakan melanggar kesusilaan telah menimbulkan kerugian bagi
pihak lain maka pihak penderita kerugian dapat menuntut ganti rugi berdasarkan
atas perbuatan melawan hukum (putusan Hooge Raad Lindenbaum v. Cohen 1919).
4. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau
keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik (zorgvuldigheid) : setiap
tindakan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam
pergaulan masyarakat yang baik, keharusan dalam masyarakat tentunya bukanlah
sebuah aturan tertulis tetapi diakui keberadaannya dalam masyarakat.
II. Aspek Yuridis Perbuatan Melawan Hukum.
Sesuai dengan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata maka suatu
perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur-unsur antara lain yaitu :
1. Adanya suatu perbuatan ;
Pengertian perbuatan dalam hal ini yaitu berbuat/melakukan
sesuatu atau tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu.
2. Perbuatan tersebut melawan hukum ;
Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum
yang meliputi antara lain ;
- Perbuatan yang melanggar undang-undang.
- Melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum.
- Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum
si pelaku.
- Melanggar kesusilaan.
- Perbuatan yang bertentangan dengan sikap baik atau
pantas dalam bermasyarakat.
3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku ;
Undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan adanya unsur
kesalahan (schuldement) dalam melaksanakan perbuatan tertentu. Tanggungjawab
tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggungjawab berdasarkan
pasal 1365 KUH Perdata.
4. Adanya unsur kerugian bagi korban ;
Adanya kerugian (schade) bagi korban adalah sarat agar
suatu gugatan berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata. Dalam gugatan perbuatan
melawan hukum selain kerugian materiil juga bisa dituntut kerugian immaterial.
5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
;
Hubungan kausal atau hubungan sebab-akibat menjadi
persyaratan penting karena untuk membuktikan antara perbuatan melawan hukum
yang dilakukan dengan kerugian yang diderita oleh orang lainnya haruslah
terhubung atau linier dalam suatu kerangka kausalitas. Dalam hal ini pasal 1365
BW tidak membeda-bedakan para korban asalkan kerugian yang diderita oleh korban
tersebut terkait dengan hubungan sebab akibat dengan perbuatan yang dilakukan.
Macam hubungan sebab akibat yang dimaksud baik dalam konteks sebab akibat yang
factual (sine qua non) maupun sebab akibat kira-kira (proximate cause).
Secara khusus gugatan Perbuatan Melawan Hukum diatur dalam
pasal 1365 BW sedangkan gugatan atas dasar adanya penghinaan diatur dalam pasal
1372 BW. Sekalipun diatur dalam pasal yang berbeda pada dasarnya kedua pasal
tersebut masih dalam satu rumpun. Yaitu karena perbuatan/tindakan tertentu
seseorang bisa mengajukan gugatan dan minta ganti rugi.
Bisa dikatakan bahwa pasal 1365 BW mengatur hal-hal umum
(Lex Generalis) tentang perbuatan melawan hukum. Sedangkan mengenai penghinaan
diatur secara khusus (lex specialist) diatur dalam pasal 1372 BW. Tulisan ini
selanjutnya akan membahas mengenai perbuatan penghinaan sebagai perbuatan
melawan hukum (PMH).
III. Penghinaan Sebagai Perbuatan Melawan Hukum.
Penghinaan termasuk ke dalam penyerangan terhadap
kehormatan manusia. Cukup sukar untuk mendapatkan batasan atau definisi dari
penghinaan yang bisa diterima secara luas baik oleh masyarakat maupun kalangan
yuris. Karena pada dasarnya penghinaan adalah tindakan subyek hukum terhadap
subyek hukum lainnya dengan cara yang subyektif. Artinya dengan sebuah tindakan
yang sama bisa saja seseorang tersinggung sedangkan seorang yang lain bersikap
biasa-biasa saja.
Dalam ranah hukum Anglo-american batasan tantang penghinaan
dikenal dalam istilah defamation. Dalam Black Law Dictionary disebutkan bahwa
defamation adalah :
1. The act of harming the reputation of another by making a
false atatement to a third person. If the alleged defamation involves a matter
of public concern the plaintiff is constitutionally required to prove both the
statements falsity an the defendant fault.
2. A false written or oral statement thet damages anothers
reputation.
Sebagaimana halnya ketentuan dalam pasal 310 KUHP,
defamation dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Juga dirumuskan jika
penghinaan berkenaan dengan kepentingan umum (public concern) maka penggugat
harus membuktikan baik ketidakbenaran pernyataan tersebut maupun kesalahan
tergugat.
Dalam tradisi Common Law System penghinaan dapat
dikonstruksikan baik dalam aspek pidana maupun perdata atau perbuatan melawan
hukum (tort) (pasal 1365 dan 1372 BW).Tetapi kecenderungan mengarahkan
penghinaan pada peradilan pidana agak memudar, yang lebih disukai masyarakat
dalam tradisi anglo saxon adalah gugatan perdata/perbuatan melawan hukum
(tort).
Adalah sangat penting untuk mendapatkan batasan yang
meskipun tidak sepenuhnya bisa diterima oleh semua kalangan tetapi setidaknya
bisa dijadikan sebagai patokan atau rujukan dalam beracara. Salah satu pendapat
yang patut dicermati adalah bahwa suatu kehormatan manusia diserang atau dihina
dalam aspek baik budi atau kesusilaan (Zedelijke waarde).
Dalam hal ini menurut penulis aspek baik budi atau
kesusilaan sangat tergantung pada budaya atau kebiasaan dalam masyarakat serta
tingkat kedekatan personal antar pihak yang terkait. Jadi unsur lokal cukup
menentukan untuk bisa menyatakan suatu perbuatan termasuk penyerangan terhadap
kehormatan manusia atau tidak.
Secara umum setiap orang tahu dan mengerti apa yang
dimaksud dengan penghinaan. Secara sederhana tindakan penghinaan bisa diberi
pengertian sebagai suatu tindakan atau sikap yang melanggar nama baik atau
kehormatan pihak lain. Atau dalam bahasa yang lebih luas kualifikasi penghinaan
adalah perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan tata krama (geode zeden)
atau bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri orang
lain dalam pergaulan hidup.
Pengertian dan konsep penghinaan dapat kita temui baik dalam
ranah hukum pidana maupun hukum perdata. Telah menjadi kesepakatan umum
diantara ahli hukum (doktrin) bahwa apa yang dimaksud sebagai penghinaan dalam
konteks perdata adalah sama dengan pengertian penghinaan sebagai tindak pidana.
Konsekwensinya adalah bahwa penghinaan secara perdata harus memenuhi semua
untur penghinaan dalam konteks pidana.
Kerangka perbuatan penghinaan secara pidana dapat
dijelaskan dalam beberapa aspek, antara lain :
a. Aspek menyerang nama baik atau melanggar kehormatan.
Pada dasarnya tindak penghinaan adalah sebuah tindakan atau
sikap yang sengaja melanggar nama baik atau menyerang kehormatan seseorang
(beleiding is op te vatten als:het opzettelijk aanranden van iemands eer of
geode naam. J.M. v. Bemmelen-W.F.C. v. Hattum, 1954, hal 488;
D.Simon-W.P.J.Pompe.II,1941,hal.55)).
Dalam hal ini penyerangan kehormatan orang lain akan
menimbulkan akibat berupa rasa malu atau terkoyaknya harga diri atau kehormatan
orang lain. Tentunya rasa malu atau terkoyaknya harga diri seseorang mempunyai dua
sisi nilai yaitu subyektif dan obyektif. Sisi subyektif berarti adanya
pengakuan seseorang bahwa perasaan atau kehormatannya terluka atau terhina
akibat perbuatan penghinaan yang dilakukan oleh orang lain.
Sedangkan sisi obyektif adalah bahwa suatu perkataan atau
perbuatan yang dirasakan sebagai sebuah penghinaan tersebut harus bisa dinilai
secara akal sehat (common sense) bahwa hal tersebut benar-benar merupakan
penghinaan dan bukan semata-mata perasaan sempit atau subyektif seseorang.
b. Aspek kesengajaan.
Kesengajaan atau opzet adalah kehendak untuk melakukan
perbuatan atau mengambil sikap yang bersifat menghina. Orang dikatakan
melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja kalau yang bersangkutan menghendaki
perbuatan tersebut dan tahu (sadar akan) akibatnya (Wilstheori). Tetapi karena
munculnya akibat suatu perbuatan ada diluar kemampuan manusia untuk
menetapkannya maka ukuran lain yang bisa dipakai adalah dapat membayangkan
timbulnya akibat tertentu (Voorstellingstheori). Unsur kesengajaan dianggap benar-benar
ada apabila memenuhi eklemen-elemen antara lain yaitu :
- Adanya kesadaran (state of mind) untuk melakukan.
- Adanya konsekwensi dari perbuatan, jadi bukan hanya
adanya perbuatan saja.
- Kesadaran untuk melakukan bukan hanya untuk
menimbulkan konsekwensi melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan tindakan
tersebut pasti bisa menimbulkan suatu konsekwensi tertentu.
Tolok ukur yang bisa dipakai untuk mengetahui apakah suatu
perbuatan telah mengandung unsur penghinaan adalah :
- Dari kata-kata atau pernyataan yang dikemukakan
secara obyektif bisa dinilai apakah suatu tindakan termasuk penghinaan atau
tidak.
- Adanya tindakan penyebarluasan atau adanya maksud
untuk menyebarluaskan dalam hal ini berarti supaya lebih banyak orang
mengetahui tentang hal tertentu yang bisa menyebabkan terhinyanya seseorang.
c. Aspek diketahui umum.
Pembicaraan mengenai nama baik tentunya terkait dengan cara
pandang masyarakat atau lingkungan sosial terhadap seseorang. Jadi dalam hal
ini selalu ada pihak ketiga, pihak pertama : pelaku penghinaan, pihak kedua :
korban penghinaan, pihak ketiga : masyarakat yang mendapatkan informasi atau
diberitahu mengenai suatu pernyataan tertentu.
Dalam hal ini diketahui umum tidak berarti harus diketahui
banyak orang atau seluruh lingkungan sosial masyarakat mengetahui. Cukup adanya
pihak ketiga yang mengetahui tentang pernyataan yang seseorang yang oleh orang
lain dipandang sebagai sebuah penghinaan.
Secara lebih mendetail bisa dikemukakan bahwa spesifikasi
tindakan yang diketahui umum meliputi unsur antara lain dimuka umum, disiarkan,
dipertunjukkan dan ditempelkan. Jadi asalkan suatu tindakan penghinaan sudah
diketahui oleh orang lain selain si korban maka unsur diketahui umum sudah
terpenuhi.
Tipologi Tindak Penghinaan antara lain :
1. Pencemaran dan Fitnah.
Dalam pasal 310 ayat (1) KUHP dikatakan bahwa Barang siapa
menyerang kehormatan atau nama baik seorang dengan menuduh sesuatu hal yang
maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran
dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau denda paling banyak
Rp. 300,00 (tigaratus rupiah).
Ayat (2) : Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau
gambaran yang disiarkan dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum maka yang
bersalah karena pencemaran tertulis diancam pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 300,00 (tiga ratus rupiah).
Pasal 311 ayat (1) KUHP menyatakan Jika yang melakukan
kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dalam hal dibolehkan untuk membuktikan
bahwa apa yang dituduhkan benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan
bertentangan dengan apa yang diketahui maka dia diancam karena melakukan fitnah
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Dari rumusan pasal-pasal diatas bisa dikatakan bahwa
pencemaran (smaad) adalah suatu penghinaan yang dilakukan dengan menuduhkan
suatu peristiwa nyata-nyata dengan maksud agar diketahui umum. Kalau hal itu
dilakukan melalui tulisan disebut pencemaran tertulis (smaadschrift).
2. Fitnah :
Bila pihak yang dituduh melakukan tindak pidana pencemaran
minta dan atau s etelah diberikan kesempatan oleh hakim untuk membuktikan
kebenaran dari tuduhannya (yang dianggap mencemarkan) tidak telah menggunakan
kesempatan itu atau tidak berhasil untuk membuktikan kebenaran dari tuduhannya
terhadap korban padahal ia tahu tuduhannya tidak benar maka ia dianggap telah
melakukan tindak pidana fitnah. Dalam hal ini syarat-syarat yang harus dipenuhi
adalah : Terdakwa sudah diberi kesempatan untuk membuktikan kebenaran tuduhannya
; terdakwa tidak bisa membuktikan ; terdakwa tahu bahwa tuduhannya tidak benar.
3. Penghinaan sederhana/ringan :
Pasal 315 KUHP merumuskan penghinaan sederhana atau ringan
sebagai : Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau
pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seorang baik dimuka umum dengan
lisan atau tulisan maupun dimuka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan,
atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya diancam karena
penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua)
minggu atau denda paling banyak Rp 300,00 (tigaratus rupiah):.
Dari pasal tersebut bisa diperinci bahwa karakter
penghinaan sederhana/ringan terdiri dari beberapa hal yaitu :
- unsur sengaja.
- Menyerang kehormatan atau nama baik.
- Bisa di depan umum atau langsung ditujukan kepada
yang bersangkutan.
- Secara lisan atau tertulis.
IV. Ganti Rugi.
Bahwa konsep dasar mengenai ganti rugi bisa kita temukan
dari konsep Lex Aquila salah satu hukum yang berlaku pada masa Kekaisaran
Romawi (Imperium Romanum Sacrum) chapter pertama dalam Lex Aquila menyebutkan
Jika seseorang secara melawan hukum membunuh seorang budak belian atau gadis
hamba sahaya milik orang lain atau binatang ternak berkaki 4 (empat) milik orang
lain maka pembunuhnya harus membayar kepada pemiliknya sebesar nilai tertinggi
yang didapati oleh property tersebut tahun lalu. Ganti rugi tersebut menjadi
berlipat 2 (dua) jika pihak tergugat menolak tanggungjawabnya.
Signifikansi pemberian ganti rugi bagi pihak yang haknya
dilanggar (secara perdata) adalah terkait erat dengan tujuan dari prinsip
Perbuatan Melawan Hukum yaitu untuk mengontrol atau mengatur perilaku berbahaya
untuk memberikan rasa tanggungjawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi
sosial dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan
yang tepat.
Bahwa selanjutnya dalam kepustakaan kontemporer pengertian
dari ganti rugi adalah sesuatu yang bisa dituntut oleh pihak yang dirugikan
pada pihak yang dianggap melakukan perbuatan tertentu. Bentuk-bentuk ganti rugi
dari kepustakaan hukum Indonesia antara lain :
- Ganti Rugi atas kerugian materiil ;
- Ganti rugi berupa sejumlah uang atas kerugian
imateriil ;
- Pengumuman keputusan pengadilan ;
Klasifikasi yang patut diperhatikan dalam upaya gugatan
untuk mendapatkan ganti rugi antara lain adalah :
a. Memperhatikan berat ringannya penghinaan.
b. Memperhatikan kedudukan, pangkat dan kemampuan pihak
korban penghinaan (196K/Sip/1974 7-10-1976).
c. Memperhatikan kedudukan, pangkat dan kemampuan pelaku
penghinaan.
d. Memperhatikan pernyataan menyesal dan permintaan maaf
si pelaku penghinaan.
e. Memperhatikan adanya perdamaian diantara para pihak.
Hal-hal tersebut diatas penting untuk diperhatikan supaya
tuntutan pemberian ganti rugi tetap proporsional dan tidak mengarah pada balas
dendam yang dititipkan pada prosedur hukum. Selain itu sangat penting untuk
memformulasikan gantirugi agar sesuai dengan kadar penghinaan supaya bentuk
nilai ganti rugi yang diminta adalah rasional. Tetapi bagi penggugat sebenarnya
tidak perlu terlalu pusing untuk menentukan nominal ganti rugi karena pada
akhirnya hakim mempunyai hak untuk menentukan nilai ganti rugi yang pantas
berdasarkan kepatutan dan kepantasan. (610K/Sip/1968 23-5-1970).
Pada dasarnya ganti rugi adalah hal yang dituntut untuk
memenuhi keinginan korban bukan untuk mengembalikan kepada keadaan sebagaimana
semula karena adalah mustahil untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Jadi
ganti rugi pada dasarnya adalah untuk memulihkan hak korban sebagai pihak yang
patut dilindungi secara hukum sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Bahwa orang atau badan hukum yang menderita karena nama
baiknya dicemarkan bisa dikatakan menderita kerugian materiil. Keputusan
Mahkamah Agung tanggal 22 Oktober 1975 No. 371 k/Sip/1973 adalah pijakan bagi
suatu konstruksi hukum bahwa nama baik yang terlanggar bisa menimbulkan
kerugian. Walaupun nama baik bersifat abstrak tetapi terlanggarnya nama baik
pada dasarnya bisa membawa dampak kerugian materiil. Misalnya orang atau badan
hukum yang nama baiknya terlanggar maka hal tersebut akan membawa dampak bagi
kelangsungan usaha atau kehidupannya.
Burgerlijk Wetboek mengenal dua macam ganti rugi selain
gantirugi berupa materi (uang) hal yang dituntut atau dipulihkan adalah
kehormatan dalam hal ini bisa berbentuk diumumkannya putusan pengadilan atau
yang sering kita lihat yaitu tuntutan permintaan maaf di media massa sesuai
dengan ketentuan yang diinginkan penggugat serta tentunya dikabulkan oleh
Majelis Hakim.
Tidak semua penghinaan bisa membawa akibat hak bagi korban
untuk mengajukan gugatan. Dalam hal apabila penghinaan atau pernyataan yang
menyerang kehormatan dianggap bukan merupakan penghinaan apabila ditujukan
untuk kepentingan umum atau untuk pembelaan diri.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan untuk kepentingan umum
adalah suatu tindakan yang oleh pihak lain dianggap sebagai sebuah penghinaan
sebenarnya adalah tindakan yang ditujukan demi kepentingan umum, berarti si
pelaku dalam posisi aktif tetapi tujuannya bukan untuk menyerang kehormatan
orang lain tetapi untuk membela kepentingan umum. Misalnya seseorang memerlukan
untuk menyiarkan suatu hal kepada khalayak umum maka pengumuman tersebut
haruslah proporsional tidak bersifat menjelek-jelekkan pihak tertentu serta
tidak boleh disertai kata-kata yang tidak perlu.
Sedangkan pembelaan diri berarti si pelaku dalam posisi
pasif yaitu sekedar untuk membela diri. Jadi terlebih dahulu harus ada tindakan
aktif berupa serangan yang mengharuskan pihak tertentu untuk melakukan tindakan
membela diri. Dalam hal ini serangan yang dimaksud adalah sebuah tindakan yang
melanggar hukum. Tentunya pembelaan diri juga mengandung syarat-syarat yang
terkait dengan proporsionalitas atau kepantasan dari tindakan pembelaan diri yang
dilakukan.
Pembelaan diri yang terlalu berlebihan atau reaksi yang
diluar batas adalah bukan termasuk hal yang bisa melepaskan pihak tertentu dari
pertanggungjawaban terhadap tindak penghinaan. Dengan kata lain perbuatan atau
tindakan pembelaan diri yang dikatakan melampaui batas adalah apabila suatu
reaksi terlalu berlebihan atau melebihi batas kepantasan. Untuk menentukan
apakah suatu tindakan pembelaan diri benar-benar merupakan suatu tindakan
pembelaan diri yang wajar dan tidak berlebihan adalah berdasarkan rasa keadilan
dalam hal ini hakim mempunyai kewenangan untuk merasakan rasa keadilan yang
sesuai dengan kadar kepantasan untuk menentukan apakah suatu tindakan pembelaan
diri sudah proporsional dan pantas atau sudah berlebihan dan bukan merupakan suatu
pembelaan diri yang wajar.
Kesimpulan
Perbuatan penghinaan pada asasnya merupakan tindakan atau
sikap yang sengaja melanggar nama baik atau menyerang kehormatan seseorang
(belediging is op te vatten als : het opzettelijk aanranden van iemands eer of
geode naam). Perbuatan penghinaan bisa dilihat dalam ranah hukum pidana maupun
hukum perdata. Pengertian penghinaan yang bisa dijadikan alas untuk mengajukan
gugatan perdata adalah sama dengan pengertian penghinaan dalam hukum pidana.
Jadi pelaku penghinaan bisa dituntut baik secara pidana maupun perdata
sekaligus.
Putusan perkara penghinaan dalam aspek pidana bisa
memperkuat diajukannnya gugatan tindak penghinaan dalam aspek perdata (bisa
diajukan sebagai bukti). Tetapi tidak ada keharusan untuk menunggu adanya suatu
putusan pidana apabila hendak mengajukan gugatan perdata.
Gugatan kumulatif sekaligus antara 1365 BW dengan 1372 BW
tidak bisa dibenarkan karena pada dasarnya tindak penghinaan sebagaimana diatur
dalam pasal 1372 BW adalah aturan khusus (lex specialist) yang bisa dikatakan
sebagai varian khusus dari pasal 1365 BW.
Bahwa ganti rugi yang bisa dituntut dalam perkara
penghinaan bisa berupa sejumlah uang atau bisa juga berupa keterangan resmi
dari hakim bahwa perbuatan tergugat bersifat menghina dan berupa suatu
pengumuman yang disebarluaskan pada masyarakat.
Bahwa dua hal yang bisa melepaskan seorang pelaku
penghinaan dari pertanggungjawaban terhadap tindakannya tersebut adalah bila
dilakukan untuk kepentingan umum atau dalam hal terpaksa untuk pembelaan diri.
* Penulis adalah Hakim Pratama Muda di Pengadilan Negeri
Soe.
Daftar Pustaka
Asis Safioeddin, S.H. Beberapa Hal Tentang Burgerlijk
Wetboek, Penerbit Alumni,1989.
H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali
Pers, 1983.
Harkristuti Harkrisnowo, Korupsi, Konspirasi Dan Keadilan
Di Indonesia (artikel) dalam Dictum (Jurnal Kajian Putusan Pengadilan), Edisi I
tahun 2002.
J. Satrio, S.H. Gugat Perdata Atas dasar Penghinaan Sebagai
Tindakan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti, 2005.
J.C.T. Simorangkir, S.H. dkk, Kamus Hukum, Sinar Grafika,
2005.
Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M. Perbuatan Melawan Hukum
Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, 2002.
DR. H. Pontang Moerad B.M., S.H. Pembentukan Hukum Melalui
Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Penerbit Alumni, 2005.
Prof.DR.R Wirjono Prodjodikoro, SH. Perbuatan Melanggar
Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata, CV Mandar Maju, 2000.
TINDAK PENGHINAAN SEBAGAI SEBUAH
PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Oleh Maskur Hidayat, SH, MH.*
I. Perbuatan Melawan Hukum : Batasan Dan Definisi.
Perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda adalah
Onrechmatige daad atau dalam bahasa Inggrisnya yaitu tort. Tort sebenarnya
bermakna salah tetapi kemudian maknanya berkembang menjadi kesalahan perdata
yang berasal dari wanprestasi kontrak.
Perbuatan melawan hukum (PMH) adalah salah satu alasan yang
sering ditemui dalam gugatan perdata yang diajukan di pengadilan. Pada dasarnya
perbuatan melawan hukum adalah kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang
bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku berbahaya untuk memberikan
tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial dan untuk
menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.
Sedangkan menurut pasal 1365 KUH Perdata yang dimaksud dengan
perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh
seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Pada mulanya perbuatan melawan hukum diartikan hanya
semata-mata setiap perbuatan yang melawan atau melanggar pasal-pasal dari hukum
tertulis saja. Tetapi sejak tahun 1919 perbuatan melawan hukum mengalami
perluasan makna yaitu mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan sebagai
berikut :
5. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain
(inbreuk op eens anders recht) :
Perbuatan dalam klausul ini meliputi antara lain terhadap
hak-hak pribadi (persoonlijkheidsrechten), hak-hak kekayaan (vermogensrecht),
hak atas kebebasan dan hak atas kehormatan dan nama baik.
6. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya
sendiri (recht splicht) : dalam hal ini yang dimaksud dengan kewajiban hukum
adalah suatu kewajiban yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik hukum
tertulis ,maupun hukum tidak tertulis. Jadi selain bertentangan dengan hukum tertulis
(wettelijk plicht) juga bertentangan dengan hak orang lain menurut
undang-undang (wettelijk recht).
7. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan :
apabila sebuah tindakan melanggar kesusilaan telah menimbulkan kerugian bagi
pihak lain maka pihak penderita kerugian dapat menuntut ganti rugi berdasarkan
atas perbuatan melawan hukum (putusan Hooge Raad Lindenbaum v. Cohen 1919).
8. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau
keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik (zorgvuldigheid) : setiap
tindakan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam
pergaulan masyarakat yang baik, keharusan dalam masyarakat tentunya bukanlah
sebuah aturan tertulis tetapi diakui keberadaannya dalam masyarakat.
II. Aspek Yuridis Perbuatan Melawan Hukum.
Sesuai dengan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata maka suatu
perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur-unsur antara lain yaitu :
1. Adanya suatu perbuatan ;
Pengertian perbuatan dalam hal ini yaitu berbuat/melakukan
sesuatu atau tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu.
2. Perbuatan tersebut melawan hukum ;
Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum
yang meliputi antara lain ;
- Perbuatan yang melanggar undang-undang.
- Melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum.
- Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum
si pelaku.
- Melanggar kesusilaan.
- Perbuatan yang bertentangan dengan sikap baik atau
pantas dalam bermasyarakat.
3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku ;
Undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan adanya unsur
kesalahan (schuldement) dalam melaksanakan perbuatan tertentu. Tanggungjawab
tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggungjawab berdasarkan
pasal 1365 KUH Perdata.
4. Adanya unsur kerugian bagi korban ;
Adanya kerugian (schade) bagi korban adalah sarat agar
suatu gugatan berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata. Dalam gugatan perbuatan
melawan hukum selain kerugian materiil juga bisa dituntut kerugian immaterial.
5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
;
Hubungan kausal atau hubungan sebab-akibat menjadi
persyaratan penting karena untuk membuktikan antara perbuatan melawan hukum
yang dilakukan dengan kerugian yang diderita oleh orang lainnya haruslah
terhubung atau linier dalam suatu kerangka kausalitas. Dalam hal ini pasal 1365
BW tidak membeda-bedakan para korban asalkan kerugian yang diderita oleh korban
tersebut terkait dengan hubungan sebab akibat dengan perbuatan yang dilakukan.
Macam hubungan sebab akibat yang dimaksud baik dalam konteks sebab akibat yang
factual (sine qua non) maupun sebab akibat kira-kira (proximate cause).
Secara khusus gugatan Perbuatan Melawan Hukum diatur dalam
pasal 1365 BW sedangkan gugatan atas dasar adanya penghinaan diatur dalam pasal
1372 BW. Sekalipun diatur dalam pasal yang berbeda pada dasarnya kedua pasal
tersebut masih dalam satu rumpun. Yaitu karena perbuatan/tindakan tertentu
seseorang bisa mengajukan gugatan dan minta ganti rugi.
Bisa dikatakan bahwa pasal 1365 BW mengatur hal-hal umum
(Lex Generalis) tentang perbuatan melawan hukum. Sedangkan mengenai penghinaan
diatur secara khusus (lex specialist) diatur dalam pasal 1372 BW. Tulisan ini
selanjutnya akan membahas mengenai perbuatan penghinaan sebagai perbuatan
melawan hukum (PMH).
III. Penghinaan Sebagai Perbuatan Melawan Hukum.
Penghinaan termasuk ke dalam penyerangan terhadap
kehormatan manusia. Cukup sukar untuk mendapatkan batasan atau definisi dari
penghinaan yang bisa diterima secara luas baik oleh masyarakat maupun kalangan
yuris. Karena pada dasarnya penghinaan adalah tindakan subyek hukum terhadap
subyek hukum lainnya dengan cara yang subyektif. Artinya dengan sebuah tindakan
yang sama bisa saja seseorang tersinggung sedangkan seorang yang lain bersikap
biasa-biasa saja.
Dalam ranah hukum Anglo-american batasan tantang penghinaan
dikenal dalam istilah defamation. Dalam Black Law Dictionary disebutkan bahwa
defamation adalah :
1. The act of harming the reputation of another by making a
false atatement to a third person. If the alleged defamation involves a matter
of public concern the plaintiff is constitutionally required to prove both the
statements falsity an the defendant fault.
2. A false written or oral statement thet damages anothers
reputation.
Sebagaimana halnya ketentuan dalam pasal 310 KUHP,
defamation dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Juga dirumuskan jika
penghinaan berkenaan dengan kepentingan umum (public concern) maka penggugat
harus membuktikan baik ketidakbenaran pernyataan tersebut maupun kesalahan
tergugat.
Dalam tradisi Common Law System penghinaan dapat
dikonstruksikan baik dalam aspek pidana maupun perdata atau perbuatan melawan
hukum (tort) (pasal 1365 dan 1372 BW).Tetapi kecenderungan mengarahkan
penghinaan pada peradilan pidana agak memudar, yang lebih disukai masyarakat
dalam tradisi anglo saxon adalah gugatan perdata/perbuatan melawan hukum
(tort).
Adalah sangat penting untuk mendapatkan batasan yang
meskipun tidak sepenuhnya bisa diterima oleh semua kalangan tetapi setidaknya
bisa dijadikan sebagai patokan atau rujukan dalam beracara. Salah satu pendapat
yang patut dicermati adalah bahwa suatu kehormatan manusia diserang atau dihina
dalam aspek baik budi atau kesusilaan (Zedelijke waarde).
Dalam hal ini menurut penulis aspek baik budi atau
kesusilaan sangat tergantung pada budaya atau kebiasaan dalam masyarakat serta
tingkat kedekatan personal antar pihak yang terkait. Jadi unsur lokal cukup
menentukan untuk bisa menyatakan suatu perbuatan termasuk penyerangan terhadap
kehormatan manusia atau tidak.
Secara umum setiap orang tahu dan mengerti apa yang
dimaksud dengan penghinaan. Secara sederhana tindakan penghinaan bisa diberi
pengertian sebagai suatu tindakan atau sikap yang melanggar nama baik atau
kehormatan pihak lain. Atau dalam bahasa yang lebih luas kualifikasi penghinaan
adalah perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan tata krama (geode zeden)
atau bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri orang
lain dalam pergaulan hidup.
Pengertian dan konsep penghinaan dapat kita temui baik
dalam ranah hukum pidana maupun hukum perdata. Telah menjadi kesepakatan umum
diantara ahli hukum (doktrin) bahwa apa yang dimaksud sebagai penghinaan dalam
konteks perdata adalah sama dengan pengertian penghinaan sebagai tindak pidana.
Konsekwensinya adalah bahwa penghinaan secara perdata harus memenuhi semua
untur penghinaan dalam konteks pidana.
Kerangka perbuatan penghinaan secara pidana dapat
dijelaskan dalam beberapa aspek, antara lain :
a. Aspek menyerang nama baik atau melanggar kehormatan.
Pada dasarnya tindak penghinaan adalah sebuah tindakan atau
sikap yang sengaja melanggar nama baik atau menyerang kehormatan seseorang
(beleiding is op te vatten als:het opzettelijk aanranden van iemands eer of
geode naam. J.M. v. Bemmelen-W.F.C. v. Hattum, 1954, hal 488;
D.Simon-W.P.J.Pompe.II,1941,hal.55)).
Dalam hal ini penyerangan kehormatan orang lain akan
menimbulkan akibat berupa rasa malu atau terkoyaknya harga diri atau kehormatan
orang lain. Tentunya rasa malu atau terkoyaknya harga diri seseorang mempunyai
dua sisi nilai yaitu subyektif dan obyektif. Sisi subyektif berarti adanya
pengakuan seseorang bahwa perasaan atau kehormatannya terluka atau terhina
akibat perbuatan penghinaan yang dilakukan oleh orang lain.
Sedangkan sisi obyektif adalah bahwa suatu perkataan atau
perbuatan yang dirasakan sebagai sebuah penghinaan tersebut harus bisa dinilai
secara akal sehat (common sense) bahwa hal tersebut benar-benar merupakan
penghinaan dan bukan semata-mata perasaan sempit atau subyektif seseorang.
b. Aspek kesengajaan.
Kesengajaan atau opzet adalah kehendak untuk melakukan
perbuatan atau mengambil sikap yang bersifat menghina. Orang dikatakan
melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja kalau yang bersangkutan menghendaki
perbuatan tersebut dan tahu (sadar akan) akibatnya (Wilstheori). Tetapi karena
munculnya akibat suatu perbuatan ada diluar kemampuan manusia untuk
menetapkannya maka ukuran lain yang bisa dipakai adalah dapat membayangkan
timbulnya akibat tertentu (Voorstellingstheori). Unsur kesengajaan dianggap
benar-benar ada apabila memenuhi eklemen-elemen antara lain yaitu :
- Adanya kesadaran (state of mind) untuk melakukan.
- Adanya konsekwensi dari perbuatan, jadi bukan hanya
adanya perbuatan saja.
- Kesadaran untuk melakukan bukan hanya untuk
menimbulkan konsekwensi melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan tindakan
tersebut pasti bisa menimbulkan suatu konsekwensi tertentu.
Tolok ukur yang bisa dipakai untuk mengetahui apakah suatu
perbuatan telah mengandung unsur penghinaan adalah :
- Dari kata-kata atau pernyataan yang dikemukakan secara
obyektif bisa dinilai apakah suatu tindakan termasuk penghinaan atau tidak.
- Adanya tindakan penyebarluasan atau adanya maksud
untuk menyebarluaskan dalam hal ini berarti supaya lebih banyak orang
mengetahui tentang hal tertentu yang bisa menyebabkan terhinyanya seseorang.
c. Aspek diketahui umum.
Pembicaraan mengenai nama baik tentunya terkait dengan cara
pandang masyarakat atau lingkungan sosial terhadap seseorang. Jadi dalam hal
ini selalu ada pihak ketiga, pihak pertama : pelaku penghinaan, pihak kedua :
korban penghinaan, pihak ketiga : masyarakat yang mendapatkan informasi atau
diberitahu mengenai suatu pernyataan tertentu.
Dalam hal ini diketahui umum tidak berarti harus diketahui
banyak orang atau seluruh lingkungan sosial masyarakat mengetahui. Cukup adanya
pihak ketiga yang mengetahui tentang pernyataan yang seseorang yang oleh orang
lain dipandang sebagai sebuah penghinaan.
Secara lebih mendetail bisa dikemukakan bahwa spesifikasi
tindakan yang diketahui umum meliputi unsur antara lain dimuka umum, disiarkan,
dipertunjukkan dan ditempelkan. Jadi asalkan suatu tindakan penghinaan sudah
diketahui oleh orang lain selain si korban maka unsur diketahui umum sudah
terpenuhi.
Tipologi Tindak Penghinaan antara lain :
1. Pencemaran dan Fitnah.
Dalam pasal 310 ayat (1) KUHP dikatakan bahwa Barang siapa
menyerang kehormatan atau nama baik seorang dengan menuduh sesuatu hal yang
maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran
dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau denda paling banyak
Rp. 300,00 (tigaratus rupiah).
Ayat (2) : Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau
gambaran yang disiarkan dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum maka yang
bersalah karena pencemaran tertulis diancam pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 300,00 (tiga ratus rupiah).
Pasal 311 ayat (1) KUHP menyatakan Jika yang melakukan
kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dalam hal dibolehkan untuk
membuktikan bahwa apa yang dituduhkan benar, tidak membuktikannya dan tuduhan
dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui maka dia diancam karena
melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Dari rumusan pasal-pasal diatas bisa dikatakan bahwa
pencemaran (smaad) adalah suatu penghinaan yang dilakukan dengan menuduhkan
suatu peristiwa nyata-nyata dengan maksud agar diketahui umum. Kalau hal itu
dilakukan melalui tulisan disebut pencemaran tertulis (smaadschrift).
2. Fitnah :
Bila pihak yang dituduh melakukan tindak pidana pencemaran
minta dan atau s etelah diberikan kesempatan oleh hakim untuk membuktikan
kebenaran dari tuduhannya (yang dianggap mencemarkan) tidak telah menggunakan
kesempatan itu atau tidak berhasil untuk membuktikan kebenaran dari tuduhannya
terhadap korban padahal ia tahu tuduhannya tidak benar maka ia dianggap telah
melakukan tindak pidana fitnah. Dalam hal ini syarat-syarat yang harus dipenuhi
adalah : Terdakwa sudah diberi kesempatan untuk membuktikan kebenaran
tuduhannya ; terdakwa tidak bisa membuktikan ; terdakwa tahu bahwa tuduhannya
tidak benar.
3. Penghinaan sederhana/ringan :
Pasal 315 KUHP merumuskan penghinaan sederhana atau ringan
sebagai : Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran
atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seorang baik dimuka umum
dengan lisan atau tulisan maupun dimuka orang itu sendiri dengan lisan atau
perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya diancam
karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2
(dua) minggu atau denda paling banyak Rp 300,00 (tigaratus rupiah):.
Dari pasal tersebut bisa diperinci bahwa karakter
penghinaan sederhana/ringan terdiri dari beberapa hal yaitu :
- unsur sengaja.
- Menyerang kehormatan atau nama baik.
- Bisa di depan umum atau langsung ditujukan kepada
yang bersangkutan.
- Secara lisan atau tertulis.
IV. Ganti Rugi.
Bahwa konsep dasar mengenai ganti rugi bisa kita temukan
dari konsep Lex Aquila salah satu hukum yang berlaku pada masa Kekaisaran
Romawi (Imperium Romanum Sacrum) chapter pertama dalam Lex Aquila menyebutkan
Jika seseorang secara melawan hukum membunuh seorang budak belian atau gadis
hamba sahaya milik orang lain atau binatang ternak berkaki 4 (empat) milik
orang lain maka pembunuhnya harus membayar kepada pemiliknya sebesar nilai
tertinggi yang didapati oleh property tersebut tahun lalu. Ganti rugi tersebut
menjadi berlipat 2 (dua) jika pihak tergugat menolak tanggungjawabnya.
Signifikansi pemberian ganti rugi bagi pihak yang haknya
dilanggar (secara perdata) adalah terkait erat dengan tujuan dari prinsip
Perbuatan Melawan Hukum yaitu untuk mengontrol atau mengatur perilaku berbahaya
untuk memberikan rasa tanggungjawab atas suatu kerugian yang terbit dari
interaksi sosial dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu
gugatan yang tepat.
Bahwa selanjutnya dalam kepustakaan kontemporer pengertian
dari ganti rugi adalah sesuatu yang bisa dituntut oleh pihak yang dirugikan
pada pihak yang dianggap melakukan perbuatan tertentu. Bentuk-bentuk ganti rugi
dari kepustakaan hukum Indonesia antara lain :
- Ganti Rugi atas kerugian materiil ;
- Ganti rugi berupa sejumlah uang atas kerugian
imateriil ;
- Pengumuman keputusan pengadilan ;
Klasifikasi yang patut diperhatikan dalam upaya gugatan
untuk mendapatkan ganti rugi antara lain adalah :
f. Memperhatikan berat ringannya penghinaan.
g. Memperhatikan kedudukan, pangkat dan kemampuan pihak
korban penghinaan (196K/Sip/1974 7-10-1976).
h. Memperhatikan kedudukan, pangkat dan kemampuan pelaku
penghinaan.
i. Memperhatikan pernyataan menyesal dan permintaan
maaf si pelaku penghinaan.
j. Memperhatikan adanya perdamaian diantara para pihak.
Hal-hal tersebut diatas penting untuk diperhatikan supaya
tuntutan pemberian ganti rugi tetap proporsional dan tidak mengarah pada balas
dendam yang dititipkan pada prosedur hukum. Selain itu sangat penting untuk
memformulasikan gantirugi agar sesuai dengan kadar penghinaan supaya bentuk
nilai ganti rugi yang diminta adalah rasional. Tetapi bagi penggugat sebenarnya
tidak perlu terlalu pusing untuk menentukan nominal ganti rugi karena pada
akhirnya hakim mempunyai hak untuk menentukan nilai ganti rugi yang pantas
berdasarkan kepatutan dan kepantasan. (610K/Sip/1968 23-5-1970).
Pada dasarnya ganti rugi adalah hal yang dituntut untuk
memenuhi keinginan korban bukan untuk mengembalikan kepada keadaan sebagaimana
semula karena adalah mustahil untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Jadi
ganti rugi pada dasarnya adalah untuk memulihkan hak korban sebagai pihak yang
patut dilindungi secara hukum sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Bahwa orang atau badan hukum yang menderita karena nama
baiknya dicemarkan bisa dikatakan menderita kerugian materiil. Keputusan
Mahkamah Agung tanggal 22 Oktober 1975 No. 371 k/Sip/1973 adalah pijakan bagi
suatu konstruksi hukum bahwa nama baik yang terlanggar bisa menimbulkan
kerugian. Walaupun nama baik bersifat abstrak tetapi terlanggarnya nama baik
pada dasarnya bisa membawa dampak kerugian materiil. Misalnya orang atau badan
hukum yang nama baiknya terlanggar maka hal tersebut akan membawa dampak bagi
kelangsungan usaha atau kehidupannya.
Burgerlijk Wetboek mengenal dua macam ganti rugi selain
gantirugi berupa materi (uang) hal yang dituntut atau dipulihkan adalah
kehormatan dalam hal ini bisa berbentuk diumumkannya putusan pengadilan atau
yang sering kita lihat yaitu tuntutan permintaan maaf di media massa sesuai
dengan ketentuan yang diinginkan penggugat serta tentunya dikabulkan oleh
Majelis Hakim.
Tidak semua penghinaan bisa membawa akibat hak bagi korban
untuk mengajukan gugatan. Dalam hal apabila penghinaan atau pernyataan yang
menyerang kehormatan dianggap bukan merupakan penghinaan apabila ditujukan
untuk kepentingan umum atau untuk pembelaan diri.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan untuk kepentingan umum
adalah suatu tindakan yang oleh pihak lain dianggap sebagai sebuah penghinaan
sebenarnya adalah tindakan yang ditujukan demi kepentingan umum, berarti si
pelaku dalam posisi aktif tetapi tujuannya bukan untuk menyerang kehormatan
orang lain tetapi untuk membela kepentingan umum. Misalnya seseorang memerlukan
untuk menyiarkan suatu hal kepada khalayak umum maka pengumuman tersebut
haruslah proporsional tidak bersifat menjelek-jelekkan pihak tertentu serta
tidak boleh disertai kata-kata yang tidak perlu.
Sedangkan pembelaan diri berarti si pelaku dalam posisi
pasif yaitu sekedar untuk membela diri. Jadi terlebih dahulu harus ada tindakan
aktif berupa serangan yang mengharuskan pihak tertentu untuk melakukan tindakan
membela diri. Dalam hal ini serangan yang dimaksud adalah sebuah tindakan yang
melanggar hukum. Tentunya pembelaan diri juga mengandung syarat-syarat yang
terkait dengan proporsionalitas atau kepantasan dari tindakan pembelaan diri
yang dilakukan.
Pembelaan diri yang terlalu berlebihan atau reaksi yang
diluar batas adalah bukan termasuk hal yang bisa melepaskan pihak tertentu dari
pertanggungjawaban terhadap tindak penghinaan. Dengan kata lain perbuatan atau
tindakan pembelaan diri yang dikatakan melampaui batas adalah apabila suatu
reaksi terlalu berlebihan atau melebihi batas kepantasan. Untuk menentukan
apakah suatu tindakan pembelaan diri benar-benar merupakan suatu tindakan
pembelaan diri yang wajar dan tidak berlebihan adalah berdasarkan rasa keadilan
dalam hal ini hakim mempunyai kewenangan untuk merasakan rasa keadilan yang
sesuai dengan kadar kepantasan untuk menentukan apakah suatu tindakan pembelaan
diri sudah proporsional dan pantas atau sudah berlebihan dan bukan merupakan
suatu pembelaan diri yang wajar.
Kesimpulan
Perbuatan penghinaan pada asasnya merupakan tindakan atau
sikap yang sengaja melanggar nama baik atau menyerang kehormatan seseorang
(belediging is op te vatten als : het opzettelijk aanranden van iemands eer of
geode naam). Perbuatan penghinaan bisa dilihat dalam ranah hukum pidana maupun
hukum perdata. Pengertian penghinaan yang bisa dijadikan alas untuk mengajukan
gugatan perdata adalah sama dengan pengertian penghinaan dalam hukum pidana.
Jadi pelaku penghinaan bisa dituntut baik secara pidana maupun perdata
sekaligus.
Putusan perkara penghinaan dalam aspek pidana bisa
memperkuat diajukannnya gugatan tindak penghinaan dalam aspek perdata (bisa
diajukan sebagai bukti). Tetapi tidak ada keharusan untuk menunggu adanya suatu
putusan pidana apabila hendak mengajukan gugatan perdata.
Gugatan kumulatif sekaligus antara 1365 BW dengan 1372 BW
tidak bisa dibenarkan karena pada dasarnya tindak penghinaan sebagaimana diatur
dalam pasal 1372 BW adalah aturan khusus (lex specialist) yang bisa dikatakan
sebagai varian khusus dari pasal 1365 BW.
Bahwa ganti rugi yang bisa dituntut dalam perkara
penghinaan bisa berupa sejumlah uang atau bisa juga berupa keterangan resmi
dari hakim bahwa perbuatan tergugat bersifat menghina dan berupa suatu
pengumuman yang disebarluaskan pada masyarakat.
Bahwa dua hal yang bisa melepaskan seorang pelaku
penghinaan dari pertanggungjawaban terhadap tindakannya tersebut adalah bila
dilakukan untuk kepentingan umum atau dalam hal terpaksa untuk pembelaan diri.
Daftar Pustaka
Asis Safioeddin, S.H. Beberapa Hal Tentang Burgerlijk
Wetboek, Penerbit Alumni,1989.
H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali
Pers, 1983.
Harkristuti Harkrisnowo, Korupsi, Konspirasi Dan Keadilan
Di Indonesia (artikel) dalam Dictum (Jurnal Kajian Putusan Pengadilan), Edisi I
tahun 2002.
J. Satrio, S.H. Gugat Perdata Atas dasar Penghinaan Sebagai
Tindakan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti, 2005.
J.C.T. Simorangkir, S.H. dkk, Kamus Hukum, Sinar Grafika,
2005.
Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M. Perbuatan Melawan Hukum
Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, 2002.
DR. H. Pontang Moerad B.M., S.H. Pembentukan Hukum Melalui
Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Penerbit Alumni, 2005.
Prof.DR.R Wirjono Prodjodikoro, SH. Perbuatan Melanggar
Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata, CV Mandar Maju, 2000.
Coin Casino - Use Bitcoin for a Casino Game | CasinoRewards
BalasHapusWith Bitcoin, you can play the most popular online casino games. You 인카지노 can play the most popular 온카지노 games 바카라사이트 like roulette, blackjack and poker.